KOMPAS/RADITYA HELABUMI Polisi mengawal terdakwa penganiayaan, John Refra alias John Kei (bertopi) menuju ruang sidang Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Selasa (9/12/2008).
Pahit dan manis kehidupan tampaknya sudah dialami John Kei (42). Sejak usia belia, John memutuskan keluar dari tanah kelahirannya di Tutrean, Pulau Kei, Maluku, menuju ke Surabaya pada tahun 1986. Setahun kemudian, John datang ke Ibu Kota dan mulai memperkenalkan diri sebagai John Kei kendati nama aslinya adalah John Refra.
John yang sifatnya cuek ini tak malu harus hidup di kolong jembatan saat di Surabaya. Di saat itu, John mulai harus berjuang sendiri untuk hidup. Kehidupan keras anak jalanan ditempuhnya. Dengan watak yang juga keras, John pun mampu bertahan.
Pindah ke Jakarta, keahlian John dalam bergaul dan memberikan pengaruh juga akhirnya berdampak dengan lingkungan barunya di kawasan Berlan, Jakarta Pusat. John kemudian tumbuh sebagai seorang "yang dituakan". Ia pula dipercaya sebagai Ketua Angkatan Muda Kei sejak tahun 1998 dan belum pernah digantikan hingga kini.
Sisi hitam
Berawal dari perjuangan seorang diri, John Kei kini justru memiliki belasan ribu pengikut setianya. Ia juga disebut-sebut memiliki bisnis jasa pengamanan, jasa penagihan, jasa konsultan hukum, dan pemilik sasana tinju Putra Kei yang memberikan kemakmuran tersendiri bagi John dan keluarganya. Tetapi, kehidupan John tidak lepas dari catatan kriminalnya yang cukup panjang.
Bahkan, John Kei sempat disandingkan dengan mafia-mafia di Italia dan diberikan gelar "Godfather Jakarta" karena berbisnis layaknya mafia, tetapi jarang tersentuh aparat kepolisian. Dari rangkaian kasus yang dikaitkan dengan dirinya, John baru sekali divonis penjara.
Perseteruan pertama terjadi pada tanggal 2 Maret 2004. Saat itu, massa dari Basri Sangaji dan John Kei bentrok di Diskotek Stadium, Taman Sari, Jakarta Barat. Sebelum peristiwa itu terjadi, John juga sempat diserang oleh massa Basri di Diskotek Zona sehingga membuat tiga jari tangannya kaku dan tak bisa digerakkan hingga kini.
Pada tanggal 12 Oktober 2004, nama John Kei kembali dikaitkan dengan Basri Sangaji. Basri tewas ditembak di bagian dada saat berada di dalam kamar 301 Hotel Kebayoran Inn, Jakarta Selatan. Di dalam kasus ini, John Kei lolos dari jeratan hukum karena tidak terbukti terlibat.
Namun, pada tanggal 11 Agutus 2008, John bersama adiknya, Tito Refra, benar-benar harus hidup di balik bui. Keduanya divonis delapan bulan penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya karena menganiaya dua pemuda, yakni Charles Refra dan Remi Refra, di Maluku. Jari kedua pemuda itu putus akibat penganiayaan tersebut.
John dan Tito akhirnya ditangkap oleh Densus 88 di Desa Ohoijang, Kota Tual, Maluku Tenggara. Saat itu, rencana persidangan akan digelar di Maluku, tetapi karena ada ancaman dari para pendukung John akhirnya sidang digelar di PN Surabaya. Loyalis-loyalis John Kei juga kembali membuat ulah.
Pada 4 April 2010, massa Kei bentrok di klub Blowfish dengan massa Thalib Makarim dari Ende, Flores. Dua anak buah John tewas. Perseteruan antara massa dari Flores dengan loyalis John juga kembali terjadi saat persidangan kasus Blowfish digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 29 September 2010. Pada bentrok yang disertai dengan suara tembakan dan dikenal dengan peristiwa "Ampera Berdarah" itu, dua anggota kelompok John Kei tewas dan seorang sopir Kopaja juga turut menjadi korban. Saat itu, adiknya Tito mendapatkan luka tembak di dada dan nyaris masuk ke jantung. Namun, beruntung, Tito berhasil selamat.
Terakhir, John Kei kembali harus berurusan dengan aparat dalam kasus pembunuhan Tan Harry Tantono alias Ayung (45) di Swiss-Belhotel, Sawah Besar, Jakarta Pusat, pada tanggal 26 Januari 2012 lalu. Ayung tewas bersimbah darah dengan 32 luka tusukan di pinggang, leher, dan perut. John pun diduga menjadi dalang dalam pembunuhan Ayung yang merupakan klien pengguna jasa penagihannya.
Saat ini, kepolisian sedang membuka lagi kasus-kasus lama di mana John Kei lolos dari jerat hukum.
Sisi putih
Adik kandung John Kei, Tito Kei, membantah bahwa kasus-kasus yang disebutkan tadi terkait semua dengan John Kei.
"Terkadang ada adik-adik kita yang buat onar dan bilangnya anak buah John Kei. Padahal, sama sekali tidak disuruh, karena kadang mereka kesal kakak saya diapain, terus mereka tidak terima dan bertindak sendiri," ungkap Tito, Selasa (21/2/2012), dalam perbincangan dengan Kompas.com di Rumah Sakit Polri Soekanto, Jakarta.
Ia mengatakan, meski secara fisik kakaknya terlihat seram dan galak, sebenarnya dia adalah sosok penyayang. "Coba saja yang kenal dekat dia. Pasti akan bilang dia orang paling baik karena dia sangat peduli dengan adik-adik atau orang-orang susah. Orangnya dermawan," tutur Tito.
Contoh kedermawanan John, imbuh Tito, ada dengan pembangunan sebuah gereja dan rumah pastor di kampung halaman mereka di Pulau Kei. John di sana menjadi penasihat pembangunan gereja, sedangkan Tito ketua pelaksananya.
"Kami mulai dari nol. Tukang dan bahan semua kami bawa dari Jawa. Rencananya April 2013 akan pemberkatan gereja," imbuhnya. Gereja itu dibangun selama empat tahun dari tahun 2007 sampai tahun 2011. Dana pembangunan didapat dari pemerintah daerah sebesar Rp 100 juta. "Tapi gereja itu biayanya miliaran, akhirnya kakak saya yang bantu semua," paparnya.
Selain membangun gereja, John juga memutuskan untuk membantu 20 rumah warga di Pulau Kei yang masih beratapkan jerami. Dia juga sempat membantu Umar Kei, keponakan John Kei, dengan memberikan lampu-lampu taman di halaman masjid. "Kalau ada yang bilang John Kei dan Umar Kei itu berseteru, itu tidak benar. Perseteruan itu hal yang biasa, tapi kami bisa rujuk lagi," imbuhnya.
Dengan sifat John Kei yang peduli itu, Tito menjadikan sosok John sebagai idola di dalam keluarga. "Saya tidak mungkin ada di Jakarta ini kalau tanpa bantuan dia," katanya. Tito mengetahui bahwa banyak orang yang mencap kakaknya layaknya seorang gangster. "Itu terserah orang menilai kami bagaimana. Kami tidak bisa halangi," tandasnya.
sumber
No comments:
Post a Comment