Sunday, October 2, 2011

Monumen Rawagede - Karawang

Monumen Rawagede
Monumen Rawagede, Karawang
foto : Disparbud Jawa Barat
Sebelumnya, maafkan saya, ini akan menjadi tulisan panjang dan serius. Berkisah soal pembantaian massal terhadap 400 lebih warga Desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat pada 9 Desember 1947 oleh tentara Belanda pimpinan Mayor Alphons Wijnen.

Mengapa perlu saya posting di sini? Tak lain soal harapan yang terus tumbuh. Lebih dari 60 tahun sejak tragedi kemanusiaan itu, harapan akan rasa keadilan para korban pembunuhan di desa yang sekarang bernama Balongsari itu mendapat titik cerah.
Pengadilan Den Haag, Rabu (14/9), memutuskan, Pemerintah Belanda wajib memberikan ganti rugi kepada keluarga korban. Para janda itu akan menerima ganti rugi material dan non-material dari Belanda. Njlimet ngitungnya? Tentu.
Tapi sebagai sebuah keputusan hukum, dan mungkin politik — karena persidangan kasus ini selalu diliput media massa — patut menjadi renungan kita bersama. Ada masanya, matahari itu terbit.


Diorama Museum Rawagede
foto : sudartokarawang.blogspot.com
OK, ini tulisan lengkapnya. Bukan, bukan saya yang menulis laporannya. Tapi, saya ambil utuh dari tempointeraktif. Semata agar lebih jelas dan detil. Ada wawancara dengan Liesbeth Zegveld, advokat yang bertahun-tahun mendampingi para janda korban keganasan serdadu Belanda. Silakan kawan,
TEMPO Interaktif, Den Haag – “Ah, sudahlah Liesbeth, ini soal tua, kamu tak akan menang,” demikian sebuah sumber anonim mengutip anjuran kalangan hukum di Belanda kepada Liesbeth Zegveld, pengacara para janda yang menggugat Kerajaan Belanda soal pembantaian massal di Desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat, akhir 1947.
Pesimisme ini masuk akal. Sudah sejak 1969, kasus-kasus kejahatan perang tentara kolonial Belanda diangkat ke media menjadi perdebatan publik yang ramai, bahkan berkali-kali menjadi tekanan terhadap Pemerintah Belanda. Semuanya kandas, tak pernah masuk sidang meja hijau.
Tapi kali ini gol. Para janda itu memenangi gugatan terhadap Staat (Negara Kerajaan Belanda). Belanda wajib memberi ganti rugi yang diduga bakal rumit. Bagaimana mengukur kerugian materiil dan non-materiil akibat perang yang menghilangkan ayah atau suami dari tengah keluarga sejak enam dekade lalu?
“Saya ingin Belanda mengganti tiga ekor kambing ayah saya,” ujar Saih bin Sakam bersahaja seperti dikutip wartawan Radio Nederland Junito Drias tahun lalu. Tapi pengacara pasti bakal lebih repot ketimbang cuma mencari kambing pengganti.
Tujuh Desember 1947 sebuah satuan Belanda pimpinan Mayor Wijnen memasuki Desa Rawagede (kini Balongsari), dekat Kerawang, mencari “bandit-bandit republiken”. Ratusan pria, ada yang menyebut 431, ditembak mati. Sakam, saat itu berusia 20-an, waspada. Melihat ayahnya tewas, dia buru buru berpura-pura mati. Seorang prajurit Belanda mendatanginya. Dia tertipu, tapi toh melepas tembakan ke kakinya, kemudian meninggalkannya.
Sakam kini telah tiada, tapi kesaksiannya berbuah nyata. Inilah apa yang disebut onrechtmatig handelen, suatu eksekusi tanpa proses hukum, sebagai kenyataan yang polos dan telanjang.
Stichting Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) mengangkat kasus Rawagede itu atas nama Sakam dan delapan janda dari para korban yang lain. Jeffrey Pondaag, pemuda asal Sulawesi yang memimpin Komite itu, menangis tersedu-sedu saat hakim membaca vonis.
Pemerintah Belanda semula menolak karena mengaggap kasusnya “telah kedaluwarsa”, jadi juga menolak pembayaran ganti rugi. Ini untuk pertama kalinya negara kalah. Pengacaranya tak banyak bicara, tapi tak menutup kemungkinan kasasi. Hakim memberi waktu tiga bulan kepada pemerintah untuk merespons.
KUKB tak tanggung-tanggung memilih kantor advokat Bohler yang beken dan menggandeng Prof. Dr. Lisbeth Zegveld, pakar hukum berdisertasi cum-laude, yang spesialisasinya kasus korban perang dan pernah menangani kasus antara lain Srebrenica (1995), Kenya, dan Palestina.
Aboeprijadi Santoso menemui advokat perempuan 41 tahun ini usai sidang, Rabu, 14 September 2011. Berikut petikan wawancaranya.
Mengapa pengadilan ini akhirnya melihat hal-hal yang dahulu diabaikan atau tidak pernah dituntaskan oleh para politikus hingga tidak pernah masuk pengadilan?
“Begini. Pertama, Pengadilan melihat adanya eksekusi. Jadi ini suatu tindakan yang merampas hak hidup karena negara (Hindia-Belanda) menembak warganya sendiri. Itu yang terjadi di Indonesia. Kami anggap ini serius. Dulu kami anggap serius. Jadi ini suatu tindak penyelewengan (misdrijven). Kedua, di sini ada orang orang (maksudnya saksi-saksi) yang mengalaminya sendiri. Nah, kedua ihwal itu, eksekusi dan adanya saksi-saksi, merupakan hal penting, serius. Jadi negara tidak boleh mengatakan itu sudah verjaard (kedaluwarsa). Tapi ada anak-anaknya juga. Bagi pengadilan, hal ini tidak segawat yang dialami saksi-saksi. Sebab anak anak ini tidak mengalami(sikon eksekusi)-nya sendiri. Jadi kalau menyangkut anak-anak, pengadilan akan menerima alasan kedaluwarsa. Tapi ihwal eksekusi tanpa proses hukum bagi pengadilan sangatlah serius. Sebegitu serius sampai kami harus meminta (dan pengadilan menerimanya) bahwa permohonan negara agar kasus ini dianggap kedaluwarsa tidak usah dipenuhi.
Jadi akan berimplikasi pula pada kasus kasus serupa lainnya?
(Antusias) Pertanyaan yang bagus! Ya! Ada implikasinya kalau memang ada kelompok-kelompok yang memiliki hak (untuk menggugat). Saya kira banyak yang memiliki hak seperti itu. Tapi tidak berarti bahwa anak-cucu mereka (para penggugat) terus-menerus akan memperoleh hak atas ganti rugi. Ini tidak bisa. Tapi saya setuju, pasti ada kasus-kasus dengan warga atau kelompok yang berhak menggugat (tentara dan Kerajaan Belanda). Mungkin saja kasus (Kapten Raymond) Westerling (Sulawesi Selatan 1949), juga kasus di desa-desa lain. Jadi orang-orang yang waktu itu berusia antara 10 hingga 25 tahun mungkin masih berhak (menggugat bila mengalaminya).
Lalu, menurut Anda, apa implikasi politiknya bagi Belanda?
“Lihatlah negara (Kerajaan Belanda) bersikap menolak gugatan kami. Sekarang dapat kita simpulkan bahwa kasus-kasus segawat itu (eksekusi tanpa proses hukum) tidak akan pernah tertutup atau kedaluwarsa. Periode kolonial ternyata belum kami tutup dengan baik. Kami, Negara Belanda, tetap bertanggung jawab atas apa yang kami lakukan di masa lalu. Kasus ini memperlihatkan Belanda belum terbebas dari trauma kolonial. Kalau memang sudah bebas, seharusnya negara sudah lama menyelesaikan kasus seperti ini. Dan harus menyanggupi tuntutan ganti rugi dengan memberi dana santunan. Seharusnya tidak perlu orang (korban) harus mengetuk pintu peradilan. Tapi itu tidak terjadi. Maka, iya, inilah pertama kali terjadi (gugatan hukum) pada negara (Belanda) atas kasus perang di Indonesia.
Jadi, apa sebenarnya kekuatan argumen yang membuat kasus ini gol di tengah pesimisme banyak kalangan?
Kami katakan tidak jujur, tidak adil untuk mengimbau kedaluwarsa bagi kasus seperti ini. Negara bertanggung jawab penuh bahwa kasus ini sebegitu lama kandas di jalan. Negara mengatakan kalian (para penggugat) terlampau lama menunggu sejak peristiwa. Tapi kami katakan, Anda (negara) tidak bisa mengatakan begitu kalau kasusnya sedemikian serius, lalu Anda berputar-putar dengan berbagai alasan dan kebijakan. Di situ negara justru harus mengambil tanggung jawab. Argumen ini pun diterima oleh Dewan Hakim. Ini belum pernah terjadi sebelumnya.
ABOEPRIJADI SANTOSO (DEN HAAG)
***




sumber

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...