Salah satu simbol kearifan masyarakat Mandar adalah perahu sandeq. Karya kebudayaan yang telah mengharumkan suku Mandar di dunia maritim internasional, ternyata memiliki keunikan tersendiri, dibanding perahu lain.
Selain menggunakan kayu khas, cara pembuatannya pun unik. Kayu kadundung yang dirakit membentuk perahu utuh, hanya menggunakan pasak kayu tanpa paku. Sambungan kayu pun diikat hanya menggunakan getah dari kulit kayu. Karena keunikannya ini, perahu sandeq selalu menjadi bagian dari festival maritim internasional.
Abdul Azis (60 tahun) adalah satu pembuat perahu sandeq yang hingga kini masih tetap bertahan menekuni profesinya. Warga Kelurahan Baurung, Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene ini tetap setia memahat kayu karunrung mamea, yang merupakan bahan dasar untuk membuat perahu sandeq.
Untuk membuat satu buah perahu sandeq, peralatan yang digunakan terbilang sederhana, yakni kapak besar, pahat, dan cangkul kayu. Cara membuatnya pun terlihat sederhana, kayu karunrung mamea yang sudah berumur puluhan tahun dan berdiameter lebih dari satu meter dipahat sedikit demi sedikit hingga membentuk kubangan atau lesung panjang.
Setelah cukup dalam, dasar perahu kemudian disambung dengan papan dari kayu sejenis hingga membentuk perahu. Dalam proses penyambungannya, perahu sandeg tak menggunakan paku. Penyambungan perahu sandeq hanya menggunakan pasak kayu serta getah dari kulit kayu.
Setelah berbentuk, tahap selanjutnya adalah pemasangan tiang layar utama atau pallayarang, dilanjutkan dengan pemasangan kemudi. Tahapan akhir adalah pemasangan pallatto atau penyeimbang di sisi kiri dan kanan perahu.
Setelah seluruh perlengkapan terpasang, proses terakhir adalah pengecatan. “Diperlukan waktu sebulan untuk membuat sebuah sandeq, mulai dari mencari bahan sampai proses pembuatannya,” ujar Abdul Azis.
Rata-rata sandeq yang dibuat Abdul azis berukuran panjang 15 meter dengan lebar 80 centimeter. Umumnya perahu seukuran ini dijual Abdul Azis Rp 30 hingga 40 juta rupiah per buah.
Sayangnya, sejak beberapa tahun terakhir Abdul Azis kesulitan membuat perahu sandeq, selain karena bahan baku kayu kadundung mamea yang langka, juga karena harga yang mahal. Nelayan kini lebih banyak menggunakan perahu lain.
Pesanan perahu sandeg baru ramai saat akan ada kompetisi perahu tradisional, yang biasanya digelar sekali setahun. Kurangnya pemesan perahu sandeq membuat perajin di Kabupaten Majene gulung tikar. Tak terlalu berlebihan jika dikatakan, perahu istimewa ini kini diambang kepunahan.
Lihatlah, saat ini perajin sandeq di Kabupaten Majene tidak lebih dari 20 orang. Padahal perahu sandeq merupakan salah satu simbol kearifan masyarakat Mandar yang dulu sangat terkenal mampu mengarungi samudera hingga berkeliling dunia.
sumber
No comments:
Post a Comment