Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS. Menurut Freeport, keberadaannya memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun 1992–2004. Angka ini hampir sama dengan 2 persen PDB Indonesia. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540 dolar per ons, Freeport diperkirakan akan mengisi kas pemerintah sebesar 1 miliar dolar.
Mining International, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia.
Freeport Indonesia sering dikabarkan telah melakukan penganiayaan terhadap para penduduk setempat. Selain itu, pada tahun 2003 Freeport Indonesia mengaku bahwa mereka telah membayar TNI untuk mengusir para penduduk setempat dari wilayah mereka. Menurut laporan New York Times pada Desember 2005, jumlah yang telah dibayarkan antara tahun 1998 dan 2004 mencapai hampir 20 juta dolar AS.
Pemegang saham
- Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (AS) - 81,28%
- Pemerintah Indonesia - 9,36%
- PT. Indocopper Investama - 9,36%
Bahan Tambang yang dihasilkan
-Tembaga-Emas
-Silver
-Molybdenum
-Rhenium
Selama ini hasil bahan yang di tambang tidak lah jelas karena hasil tambang tersebut di kapal kan ke luar indonesia untuk di murnikan sedangkan molybdenum dan rhenium adalah merupakan sebuah hasil samping dari pemrosesan bijih tembaga.
Sejarah
Dahulu di tengah masyarakat ada mitologi menyangkut manusia sejati, yang berasal dari sebuah Ibu, yang menjadi setelah kematiannya berubah menjadi tanah yang membentang sepanjang daerah Amungsal (Tanah Amugme), daerah ini dianggap keramat oleh masyarakat setempat, sehingga secara adat tidak diijinkan untuk dimasuki.
Sejak tahun 1971, Freeport Indonesia, masuk ke daerah keramat ini, dan membuka tambang Erstberg. Sejak tahun 1971 itulah warga suku Amugme dipindahkan ke luar dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan.
Tambang Erstberg ini habis open-pit-nya pada 1989, dilanjutkan dengan penambangan pada wilayah Grasberg dengan ijin produksi yang dikeluarkan Mentamben Ginandjar Kartasasmita pada 1996. Dalam ijin ini, tercantum pada AMDAL produksi yang diijinkan adalah 300 ribu /ton/hari
Kontroversi
Menurut karyawan dan bekas karyawan Freeport, selama bertahun-tahun James R Moffett, seorang ahli geologi kelahiran Louisiana, yang juga adalah pimpinan perusahaan ini, dengan tekun membina persahabatan dengan Presiden Soeharto, dan kroni-kroninya. Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport. Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.Surat-surat dan dokumen-dokumen lain yang diberikan kepada New York Times oleh para pejabat pemerintah menunjukkan, Kementerian Lingkungan Hidup telah berkali-kali memperingatkan perusahaan ini sejak tahun 1997, Freeport melanggar peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup. Menurut perhitungan Freeport sendiri, penambangan mereka dapat menghasilkan limbah/bahan buangan sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat Terusan Panama). Kebanyakan dari limbah itu dibuang di pegunungan di sekitar lokasi pertambangan, atau ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran rendah basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis yang telah diberikan status khusus oleh PBB.
Sebuah studi bernilai jutaan dolar tahun 2002 yang dilakukan Parametrix, perusahaan konsultan Amerika, dibayar oleh Freeport dan Rio Tinto, mitra bisnisnya, yang hasilnya tidak pernah diumumkan mencatat, bagian hulu sungai dan daerah dataran rendah basah yang dibanjiri dengan limbah tambang itu sekarang tidak cocok untuk kehidupan makhluk hidup akuatik. Laporan itu diserahkan ke New York Times oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. New York Times berkali-kali meminta izin kepada Freeport dan pemerintah Indonesia untuk mengunjungi tambang dan daerah di sekitarnya karena untuk itu diperlukan izin khusus bagi wartawan. Semua permintaan itu ditolak. Freeport hanya memberikan respon secara tertulis. Sebuah surat yang ditandatangani oleh Stanley S Arkin, penasihat hukum perusahaan ini menyatakan, Grasberg adalah tambang tembaga, dengan emas sebagai produk sampingan, dan bahwa banyak wartawan telah mengunjungi pertambangan itu sebelum pemerintah Indonesia memperketat aturan pada tahun 1990-an.
Menyadap e-mail
Menurut seorang pejabat dan dua bekas pejabat perusahaan yang terlibat dalam mengembangkan suatu program rahasia, Freeport selama ini menyadap e-mail para aktivis lingkungan yang melawan perusahaan ini untuk memata-matai apa yang mereka lakukan. Freeport menolak mengomentari hal ini. Freeport bergandengan tangan dengan perwira-perwira intelijen TNI, mulai menyadap korespondensi e-mail dan percakapan telepon lawan-lawan aktivis lingkungannya. Hal ini dikatakan oleh seorang karyawan Freeport yang terlibat dalam kegiatan ini dan bertugas membaca e-mail-e-mail tersebut.Menurut bekas karyawan dan karyawan Freeport, perusahaan ini juga membuat sistemnya sendiri untuk mencuri berita-berita melalui e-mail. Caranya adalah dengan membentuk sebuah kelompok pecinta lingkungan gadungan, yang meminta mereka yang berminat untuk mendaftar secara online dengan menggunakan kode rahasia (password) tertentu. Banyak di antara mereka yang mendaftar itu menggunakan password yang sama seperti yang mereka gunakan untuk e-mail mereka. Dengan cara ini, Freeport dengan gampang mencuri berita. Menurut seseorang yang waktu itu bekerja untuk perusahaan ini, awalnya para pengacara Freeport khawatir dengan pencurian ini. Tetapi, mereka kemudian memutuskan, secara legal perusahaan itu tidak dilarang untuk membaca e-mail pihak-pihak di luar negeri.
Hubungan Freeport dan TNI
Selama bertahun-tahun, Freeport memiliki unit pengamanannya sendiri, sementara militer Indonesia memerangi perlawanan separatis yang lemah dan rendah gerakannya. Kemudian kebutuhan keamanan ini mulai saling terkait.Tidak ada investigasi yang menemukan keterkaitan Freeport secara langsung dengan pelanggaran HAM, tetapi semakin banyak orang-orang Papua yang menghubungkan Freeport dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI, dan pada sejumlah kasus kekerasan itu dilakukan dengan menggunakan fasilitas Freeport. Seorang ahli antropologi Australia, Chris Ballard, yang pernah bekerja untuk Freeport, dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari Amerika Serikat, memperkirakan, sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh militer antara tahun 1975–1997 di daerah tambang dan sekitarnya.
Pada bulan Maret 1996, kemarahan terhadap perusahaan pecah dalam bentuk kerusuhan ketika sentimen anti-perusahaan dari beberapa kelompok yang berbeda bergabung.
Freeport menyadap berita-berita dalam e-mail. Menurut dua orang yang membaca e-mail-e-mail itu pada saat itu, ada unit-unit militer tertentu, masyarakat setempat, dan kelompok-kelompok lingkungan hidup yang bekerjasama. Sebuah pertukaran informasi dengan menggunakan e-mail antara seorang tokoh masyarakat dengan pimpinan organisasi lingkungan hidup penuh dengan taktik intelijen militer. Dalam e-mail yang lain, seorang pimpinan organisasi lingkungan meminta para anggotanya mundur karena demonstrasi telah berubah menjadi kerusuhan.
Dari wawancara yang dilakukan, bekas pejabat dan pejabat Freeport menyatakan, mereka terkejut melihat sejumlah orang dengan potongan rambut militer, mengenakan sepatu tempur dan menggenggam radio walkie-talkie di antara para perusuh itu. Orang-orang itu terlihat mengarahkan kerusuhan itu, dan pada satu ketika, mengarahkan massa menuju ke laboratorium Freeport yang kemudian mereka obrak-abrik.
Keamanan
Dokumen-dokumen Freeport menunjukkan, dari tahun 1998 sampai 2004 Freeport memberikan hampir 20 juta dolar kepada para jenderal, kolonel, mayor dan kapten militer dan polisi, dan unit-unit militer. Setiap komandan menerima puluhan ribu dolar, bahkan dalam satu kasus sampai mencapai 150.000 dolar, sebagaimana tertera dalam dokumen itu.Dokumen-dokumen itu diberikan kepada New York Times oleh seseorang yang dekat dengan Freeport, dan menurut bekas karyawan maupun karyawan Freeport sendiri, dokumen-dokumen itu asli alias otentik. Dalam respon tertulisnya kepada New York Times, Freeport menyatakan bahwa perusahaan itu telah mengambil langkah-langkah yang perlu sesuai dengan undang-undang Amerika Serikat dan Indonesia untuk memberikan lingkungan kerja yang aman bagi lebih dari 18.000 karyawannya maupun karyawan perusahaan-perusahaan kontraktornya. Freeport juga mengatakan tidak punya alternatif lain kecuali tergantung sepenuhnya kepada militer dan polisi Indonesia dan keputusan-keputusan yang diambil dalam kaitannya dengan hubungan dengan pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga keamanannya, adalah kegiatan bisnis biasa.
Dalam waktu singkat, Freeport menghabiskan 35 juta dolar untuk membangun infrastruktur militer — barak-barak, kantor-kantor pusat, ruang-ruang makan, jalan — dan perusahaan juga memberikan para komandan 70 buah mobil jenis Land Rover dan Land Cruiser, yang diganti setiap beberapa tahun. Semua memperoleh sesuatu, bahkan juga angkatan laut dan angkatan udara. Menurut bekas karyawan dan karyawan Freeport, ketika itu perusahaan ini sudah merekrut seorang bekas agen lapangan CIA, dan atas rekomendasinya, perusahaan kemudian mendekati seorang atase militer di Kedubes Amerika Serikat di Jakarta dan memintanya untuk bergabung. Kemudian dua orang bekas perwira militer Amerika Serikat direkrut, dan sebuah departemen khusus, yang diberi nama Perencanaan Operasi Darurat (Emergency Planning Operation) didirikan untuk menangani hubungan baru Freeport dengan militer Indonesia.
Departemen Perencanaan Operasi Darurat yang baru ini mulai melakukan pembayaran bulanan kepada para komandan TNI, sementara kantor Pengelolaan Risiko Keamanan (Security Risk Management office) mengatur pembayaran kepada polisi. Informasi ini diperoleh dari dokumen-dokumen perusahaan dan keterangan bekas karyawan dan karyawan Freeport. Menurut dokumen perusahaan, Freeport membayar paling sedikit 20 juta dolar (sekitar Rp 184 miliar) kepada militer dan polisi di Papua dari tahun 1998 sampai bulan Mei 2004. Kemudian ada juga tambahan 10 juta dolar (sekitar Rp 92 miliar) yang juga dibayarkan kepada militer dan polisi pada jangka waktu itu sehingga totalnya sekitar Rp 276 miliar.
New York Times menerima dokumen keuangan Freeport selama tujuh tahun dari seorang yang dekat dengan perusahaan itu. Tambahan dokumen selama tiga tahun diberikan oleh Global Witness, sebuah LSM yang mengeluarkan laporan pada bulan Juli, yang berjudul Paying for Protection (Bayaran Perlindungan) [1] tentang hubungan Freeport dengan militer Indonesia. Diamird 0'Sullivan, yang bekerja untuk Global Witness di London, mengkritik pembayaran yang dilakukan Freeport itu.
Menurut perusahaan, semua pengeluaran yang dilakukannya itu harus melalui proses pemeriksaan anggaran. Catatan yang diterima New York Times menunjukkan adanya pembayaran kepada perwira-perwira militer secara perseorangan yang didaftarkan di bawah topik-topik seperti biaya makanan, jasa administrasi dan tambahan bulanan. Para komandan yang menerima dana tersebut tidak diharuskan menandatangani tanda terima.
Pendeta Lowry, yang pensiun dari Freeport pada bulan Maret 2004 tetapi tetap menjadi konsultan sampai bulan Juni, mengatakan, sebetulnya tidak ada alasan yang cukup bagi Freeport untuk memberikan dana secara langsung kepada para perwira militer itu.
Catatan perusahaan menunjukkan, penerima terbesar adalah komandan pasukan di daerah Freeport, Letnan Kolonel Togap F. Gultom. Selama enam bulan tahun 2001, ia diberikan hanya kurang sedikit dari 100.000 dolar untuk biaya makanan, dan lebih dari 150.000 dolar di tahun berikutnya. Di tahun 2002, Freeport juga memberikan uang kepada paling tidak 10 komandan lainnya mencapai lebih dari 350.000 dolar untuk biaya makan.
Menurut para bekas karyawan dan karyawan Freeport, pembayaran-pembayaran tersebut dilakukan kepada para perwira itu, kepada istri-istri dan anak-anak mereka, secara perorangan. Yang berpangkat jenderal terbang di kelas satu atau kelas bisnis, dan para perwira yang lebih rendah pada kelas ekonomi, demikian kata Brigadir Jenderal Ramizan Tarigan yang menerima tiket senilai 14.000 dolar pada tahun 2002 untuk dirinya dan anggota keluarganya.
Jenderal Tarigan yang menduduki posisi senior di kepolisian mengatakan, para perwira polisi dibolehkan menerima tiket pesawat udara karena gaji mereka sangat rendah tetapi adalah melanggar peraturan kepolisian untuk menerima pembayaran uang tunai. Pada bulan April 2002, Freeport membayar perwira senior militer di Papua, Mayor Jenderal Mahidin Simbolon, lebih dari 64.000 dolar untuk yang disebut dalam buku keuangan Freeport sebagai "dana untuk rencana proyek militer tahun 2002".
Delapan bulan kemudian, di bulan Desember, Jenderal Simbolon menerima lebih dari 67.000 dolar untuk proyek aksi sipil kemanusiaan. Pembayaran-pembayaran ini pertama kali dilaporkan Global Witness. Jenderal Simbolon, yang kini menjadi Inspektur Jenderal Angkatan Darat Indonesia, menolak permohonan untuk diwawancarai.
Pada tahun 2003, sesudah terjadinya skandal Enron dan disahkannya Undang-undang Sarbanes-Oxley, yang mengharuskan praktek-praktek akuntansi keuangan yang lebih ketat pada perusahaan-perusahaan, Freeport mulai melakukan pembayaran kepada unit-unit militer ketimbang kepada para perwira secara individu. Demikian menurut catatan yang tersedia dan seperti yang dituturkan oleh bekas karyawan dan karyawan perusahaan ini.
Menurut catatan, perusahaan membayar unit-unit polisi di Papua sedikit di bawah angka 1 juta dolar di tahun 2003, didaftarkan di bawah topik-topik seperti "tambahan pembayaran bulanan," "biaya administrasi" dan "dukungan administratif." Freeport menyatakan kepada New York Times, di dalam menentukan jenis dukungan yang dapat diberikan, adalah merupakan kebijakan perusahaan untuk memperhitungkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM.” Menurut catatan yang diterima oleh New York Times, pasukan paramiliter polisi, yaitu Brigade Mobil (Brimob), yang sering dikutip oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat karena kekejamannya, menerima lebih dari 200.000 dolar di tahun 2003.
Sumber
- Laporan investigatif wartawan New York Times Jane Perlez, Raymond Bonner dan kontributor Evelyn Rusli, "Below a Mountain of Wealth, a River of Waste", 27 Desember 2005. [2]
- Disunting dan diberitakan dalam bahasa Indonesia oleh Rakyat Merdeka dengan judul "Menyusuri Sungai Limbah Di Kaki Gunung Emas Freeport" secara bersambung pada 16-22 Februari 2006 [3]
Peristiwa
- 21 Februari 2006, terjadi pengusiran terhadap penduduk setempat yang melakukan pendulangan emas dari sisa-sisa limbah produksi Freeport di Kali Kabur Wanamon. Pengusiran dilakukan oleh aparat gabungan kepolisian dan satpam Freeport. Akibat pengusiran ini terjadi bentrokan dan penembakan. Penduduk sekitar yang mengetahui kejadian itu kemudian menduduki dan menutup jalan utama Freeport di Ridge Camp, di Mile 72-74, selama beberapa hari. Jalan itu merupakan satu-satunya akses ke lokasi pengolahan dan penambangan Grasberg. [4] [5]
- 22 Februari 2006, sekelompok mahasiswa asal Papua beraksi terhadap penembakan di Timika sehari sebelumnya dengan merusak gedung Plasa 89 di Jakarta yang merupakan gedung tempat PT Freeport Indonesia berkantor.
- 23 Februari 2006, masyarakat Papua Barat yang tergabung dalam Solidaritas Tragedi Freeport menggelar unjuk rasa di depan Istana, menuntuk presiden untuk menutup Freeport Indonesia. Aksi yang sama juga dilakukan oleh sekitar 50 mahasiswa asal Papua di Manado.
- 25 Februari 2006, karyawan PT Freeport Indonesia kembali bekerja setelah palang di Mile 74 dibuka.
- 27 Februari 2006, Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat menduduki kantor PT Freeport Indonesia di Plasa 89, Jakarta. Aksi menentang Freeport juga terjadi di Jayapura dan Manado.
- 28 Februari 2006, Demonstran di Plasa 89, Jakarta, bentrok dengan polisi. Aksi ini mengakibatkan 8 orang polisi terluka.
- 1 Maret 2006, demonstrasi selama 3 hari di Plasa 89 berakhir. 8 aktivis LSM yang mendampingi mahasiswa Papua ditangkap dengan tuduhan menyusup ke dalam aksi mahasiswa Papua [6] [7]. Puluhan mahasiswa asal Papua di Makassar berdemonstrasi dan merusak Monumen Pembebasan Irian Barat.
- 3 Maret 2006, masyarakat Papua di Solo berdemonstrasi menentang Freeport.
- 7 Maret 2006, demonstrasi di Mile 28, Timika di dekat bandar udara Moses Kilangin mengakibatkan jadwal penerbangan pesawat terganggu.
- 14 Maret 2006, massa yang membawa anak panah dan tombak menutup checkpoint 28 di Timika. Massa juga mengamuk di depan Hotel Sheraton.
- 15 Maret 2006, Polisi membubarkan massa di Mile 28 dan menangkap delapan orang yang dituduh merusak Hotel Sheraton. Dua orang polisi terkena anak panah.
- 16 Maret 2006, aksi pemblokiran jalan di depan Kampus Universitas Cendrawasih, Abepura, Jayapura, oleh masyarakat dan mahasiswa yang tergabung dalam Parlemen Jalanan dan Front Pepera PB Kota Jayapura, berakhir dengan bentrokan berdarah, menyebabkan 3 orang anggota Brimob dan 1 intelijen TNI tewas dan puluhan luka-luka baik dari pihak mahasiswa dan pihak aparat. [8] [9]
- 17 Maret 2006, Tiga warga Abepura, Papua, terluka akibat terkena peluru pantulan setelah beberapa anggota Brimob menembakkan senjatanya ke udara di depan Kodim Abepura [10]. Beberapa wartawan televisi yang meliput dianiaya dan dirusak alat kerjanya oleh Brimob.
- 22 Maret 2006, satu lagi anggota Brimob meninggal dunia setelah berada dalam kondisi kritis selama enam hari
- 23 Maret 2006, lereng gunung di kawasan pertambangan terbuka PT Freeport Indonesia di Grasberg, longsor dan menimbun sejumlah pekerja. 3 orang meninggal dan puluhan lainnya cedera [11].
- 23 Maret 2006, Kementerian Lingkungan Hidup mempublikasi temuan pemantauan dan penataan kualitas lingkungan di wilayah penambangan PT Freeport Indonesia. Hasilnya, Freeport dinilai tak memenuhi batas air limbah dan telah mencemari air laut dan biota laut.[12] [13]
- 18 April 2007, sekitar 9.000 karyawan Freeport mogok kerja untuk menuntut perbaikan kesejahteraan. Perundingan akhirnya diselesaikan pada 21 April setelah tercapai kesepakatan yang termasuk mengenai kenaikan gaji terendah [14]
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Freeport_Indonesia
No comments:
Post a Comment