BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebulan kaum muslim melakukan ibadah puasa dibulan puasa. Setelah itu merayakan hari raya idul fitri atau orang Indonesia biasa menyebut hari lebaran. Hari lebaran merupakan suatu hari yang sangat dinanti – nanti oleh seluruh umat islam di seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Sebagai negara dengan penganut agama islam terbesar di dunia, Indonesia menjadi negara yang sangat menanti – nantikan hari raya idul fitri. Dimana secara agama islam idul fitri dimaknai sebagai hari kemenangan dimana umat islam telah menjalankan ibadah pausa sebulan penuh. Tak ayal, hari itu serasa sangat ditunggu-tunggu.
Pada masyarakat Indonesia, beberapa hari menjelang hari lebaran terjadi fenomene yang sangat unik. Yaitu adanya tradisi mudik yang dilakukan masyarakat Indonesia. Mudik ini biasanya dilakukan oleh para perantau yang berasal dari kampung yang bekerja di kota – kota besar. Mereka melakukan tradisi mudik karena ingin merayakan hari raya idul fitri dikampung halamannya.
Tradisi mudik mejadi sangat fenomenal karena dilakukan oleh ribuan orang bahkan jutaan masyarakat indonesia. Sehingga tradisi ini menjadi sebuah sorotan dan menjadi tradisi khas di Indonesia. Para perantau rela berdesak – desakan dan bahkan mengeluarkan banyak uang untuk melakukan tradisi mudik. Bahkan ada juga yang rela mempertaruhkan nyawanya hanya untuk dapat mudik kekampung halamannya dengan naik diatas kereta api atau bahkan mengendarai sepeda motor dengan jarak yang jauh.
Sebegitu besarnya keinginan masyarakat untuk melakukan mudik menjadikan tradisi ini menjadi tradisi yang fenomenal setiap tahunnya. Bahkan semakin lama tradisi ini melibatkan lebih banyak orang lagi. Dan sekarang menjadi fenomena sosial yang sangat menarik.
Sekarang ini bahkan dalam perkembangannya, tradisi mudik tidak hanya dilakukan oleh umat islam saja, tapi juga ada masyarakat yang non muslim juga melakukan tradisi mudik. Jadi hal ini menjadi sangat menarik karena dengan berbagai fakta yang ada dapat dikatakan mudik tidak hanya sekadar untuk melakukan Idul fitri saja, tapi lebih dari itu banyak faktor – faktor yang mempengaruhinya. Dimana sebenarnya tidak hanya faktor untuk melukan kegiatan keagamaan tapi lebih luas lagi faktor sosial dan ekonomi juga menjadi perhatian tersendiri.
Dari hal itu, penulis sangat tertarik untuk menganalisis fenomena mudik ini dengan kajian sosiologi ekonomi. Dimana sosioligi menurut Pitirim Sorokin adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antra aneka macam gejala sosial dimana didalamnya gejala ekonomi dengan agama dll. Dari hal itu penulis ingin mengkaji fenomena mudik dalam kajian sosiologi ekonomi. Sehingga penulis membuat judul “ Fenomena Mudik Lebaran ( Suatu Kajian Sosiologi Ekonomi)”.
B. Runusan masalah
Dari latar belakang diatas rumusan maslahnya adalah:
1. Bagaimana fenomena mudik dikaji dalam Sosiologi Ekonomi?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, tujuanya adalah :
1. Mengetahui fenomena mudik bila dikaji dalam Sosiologi Ekonomi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tradisi Mudik Lebaran
Mudik, pada awalnya merupakan istilah yang digunakan oleh orang-orang Jawa, yang kemudian menjadi populer ditelinga masyarakat Indonesia. Ada yang menduga istilah ini berasal dari kata "udik" yang berarti arah hulu sungai, pegunungan, atau kampung/desa. Orang yang pulang ke kampung disebut "me-udik", yang kemudian dipersingkat menjadi mudik. Jadi pada esensinya, pengertian kata mudik itu adalah (orang-orang yang tinggal di kota) yang berlayar ke hulu sungai, pulang ke kampung. Di Sumatera Utara, istilah yang digunakan masih lebih akrab dengan "pulang kampung".
Beberapa tahun belakangan ini, mudik menjadi satu fenomena sosial-keagamaan yang menarik untuk diperbincangkan, karena telah menjadi tradisi yang fenomenal di lingkungan umat Islam Indonesia, terutama pada hari-hari lebaran. Perbincangan terhadap fenomena ini menjadi penting karena nuansa yang terkandung di dalamnya yang dapat dianalisis dari berbagai pendekatan; baik teologis, sosiologis, maupun ekonomis.
Fenomena mudik ini kalau diruntutkan merupakan sebuah mata rantai yang terjadi sebagai hasil masyarakat ( umat islam ) dalam menyikapi fenomena lebaran. Dimana adanya pergeseran makna mengenai lebaran atau dalam agama dinamakan Idul Fitri menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Dari segi waktunya lebaran tidak hanya pada 1 dan 2 Syawal saja, tetapi sepanjang bulan, bahkan bisa berlangsung sampai bulan berikutnya. Dalam waktu yang relatif panjang itu lah umat Islam di Indonesia berlebaran; berhalal bi halal atau bersilatur-rahmi ke tetangga, sanak-famili, dan handai-tolan sambil saling meminta /memberi maaf, serta melaksanakan ziarah ke kuburan para leluhur dan anggota keluarga yang sudah lebih dahulu meninggal. Orang-orang kota yang berasal dari udik, tentu saja merasa tidak afdal jika kegiatan halal bi halal hanya dilakukan di kota, karena sebagian besar sanak-keluarga dan kuburan leluhurnya ada di udik. Untuk itu mudik menjadi satu keharusan dan menjadi bagian dari tradisi lebaran di negeri ini. Suatu tradisi yang cukup unik, hanya menjadi milik umat Muslim Indonesia.
B. Mudik : Suatu Kajian Sosiologis dan Ekonomis
Tradisi mudik menjadi sangat fenomenal, hal ini terkait dengan politik pembangunan. Ternyata selama ini kota menjadi lumbung uang yang cukup menggiurkan, sedangkan desa-desa dibiarkan miskin dan tertinggal. Karenanya arus urbanisasi mengalir deras demi mendapatkan kehidupan yang layak. Kaum urban inilah yang kemudian rame-rame mudik lebaran. Mereka menjadikan hari lebaran sebagai musim mudik, karena hanya inilah moment yang tersedia, sebab di hari lain mereka sangat sibuk dengan pekerjaan – pekerjaan mereka di kota. Selain itu alasan orang untuk melakukan mudik sangat bervariasi ada yang beralasan untuk melepas rindu kepada sanak-saudara, melepas kepenatan, menunjukkan kesuksesan di kota, mendidik anak dengan kehidupan desa, atau mungkin sekedar refreshing menghindar sebentar dari hiruk-pikuk kebisingan kota serta kecemaran udara oleh asap mesin dan debu.
Sementara mudik dapat dikatakan sebagai perilaku sosial, sekilas tampak sebagai sebuah euforia publik dalam mencapai keberhasilan ekonomi di perantauan. Sehingga pulang kampung menjadi pertanda bagi dirinya akan sebuah kesuksesan. Begitu pula halnya bagi penilaian masyarakat di kampung halaman, mereka yang pulang dari tanah rantau, cenderung dinilai sebagai seseorang yang sukses dalam mencari rezeki. Akan berbeda dengan sebaliknya, mereka yang tidak mudik atau tidak pulang ke kampung halaman di hari raya idul fitri akan dianggap gagal dalam merantau. Fenomena mudik sering dijadikan sebagai media untuk menunjukkan sukses di kota. Status sosial yang diperoleh perlu diketahui oleh sanak-keluarga. Maka mereka pun ikut mudik dengan kendaraan sendiri. Mereka datang dengan mobil pribadi, walau harus menyewa dari rental. Mereka rela mengeluarkan uang banyak untuk menyewa mobil demi prestis yang ingin didapat. Jadi inilah fenomena mudik, menjadi tidak sekedar beridul fitri, tetapi juga menjadi ajang pamer keberhasilan mereka mengais rejeki di tanah perantauan.
Maka ketika banyak masyarakat di hari raya idul fitri pulang ke kampung halamannya, sebenarya lebih sebagai bentuk upaya pencarian jati diri mereka yang sesungguhnya. Sebab ketika berada di kota-kota besar, eksistensi mereka sebagai seorang manusia tidak ubahnya seperti sekrup dalam mesin yang tidak diperhitungkan. Sementara di kampung halaman, mereka biasanya adalah orang-orang yang diperhitungkan, dibutuhkan, dan dimanusiakan layaknya bagian dari komunitas sosial tertentu.
Sebenarnya banyak sekali hambatan – hambatan yang menghadang orang untuk melakukan mudik. Baik dari segi sosial maupun ekonomi. Dari segi sosial sendiri kebanyakan para parantau memikul beban yang sangat berat ketika mudik. Mereka dihadapkan pada tanggung jawab sosial kepada masyarakat kampungnya bahwa mereka harus menunjukkan kesuksesannya di perantauan dengan simbol – simbol seperti pakaian neces, wangi, serta lenggak – lenggok dan bahasa yang menunjukan superioritasnya di kampung, walaupun sebenarnya di kota mereka sebagai buruh, karyawan, pembantu rumah tangga, atau mungkin malah pengangguran. Selain itu tuntutan ekonomis juga menjadi hambatan mereka untuk mudik. Mereka dituntuk untuk membawa uang banyak agar bisa memberikannya kepada orang tua atau kerabatnya. Jika mereka tidak melakukan seperti itu mereka akan merasa malu dan dianggap tidak sukses di perantauan. Hal itulah yang mejadi hambatan, namun demikian tradisi mudik bukannya menurun tapi justru malah semakin fenomenal.
Dari hal itu sekali lagi saya katakan Idulfitri menjadi momentum bagi para perantau untuk unjuk gigi di daerah. Terkait hal ini, maka wajar jika idulfitri di daerah terasa lebih meriah. Bahkan, kemeriahan ini juga diikuti dengan peningkatan belanja konsumsi para perantau. Para perantau menjadi sangat konsumtif ketika berada di kampung halamannya.
Hal ini sebenarnya adalah potret ironis para perantau. Dimana ketika berada di kota mereka bekerja keras menghadapi kerasnya kota demi mencari uang untuk kelayakan hidupnya, tapi setelah pulang ke kampung mereka seakan sangat mudah untuk menghabiskannya. Perilaku konsumtif para perantau seakan menjadi kenikmatan tersendiri bagi mereka. Adapun alasan yang muncul yaitu karena perilaku konsumtif identik dengan simbol keberhasilan di perantauan. Dengan kata lain, jika perantau tidak menunjukkan perilaku konsumtif di daerah asal selama idulfitri maka mereka bisa diidentikkan sebagai perantau yang tidak sukses.
Itulah makna mudik. Dengan mudik, orang yang sudah kehilangan jati dirinya di tengah kota ingin menemukan kembali jati dirinya dengan cara menghirup kembali udara desa sambil mengenang masa lalunya di sana. Jika di kota ia hanya menjadi ibarat sebuah skrup dari mesin besar, maka di kampung ia dihargai sebagai manusia. Jika di kota ia diberi label sebagai buruh, karyawan, pembantu rumah tangga atau lainnya, maka di desa ia dipanggil sebagai anak, abang, atau adik. Jika di kota ia sering dihadapkan dengan wajah yang garang, suara gertakan, dan mungkin ancaman, maka di desa ia menemukan kedamaian, ketenangan, dan keramahtamahan. Pendek kata, para urban akan memperoleh arti kemanusiaan dan status sosial di desa melebihi yang didapatnya di kota.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpilkan bahwa tradisi mudik merupakan tradisi yang fenomenal karena melibatkan jutaan manusia dan menjadi tradisi khas yang ada di Indonesia. Tradisi mudik bagi masyarakat Indonesia bukan sekedar tradisi keagamaan semata tapi menjadi sebuah momen untuk bersilaturahmi dengan keluarga serta yang paling menarik ternyata hal ini juga digunakan sebagai momen untuk menunjukan keberhasilannya di tanah rantau. Selain itu mudik juga menjadi momen untuk mengembalikan jati dirinya. Dimana selama bekerja di kota, mereka seperti skrup dari mesin besar kota yang tidak begitu berpengaruh. Di kampung halaman mereka sejenak melupakan hiruk pikuk kebisingan, gertakan dan ancaman dikota. Selama di kampung halaman mereka akan menemukan jati dirinya yang hilang selama dikota. Dimana ketika di kota mereka di penggi dengan sebutan buruh, pembantu, dll. Sementara di kampungnya mereka dipanggil abang, anak, adik, saudara dll. Atau dapat dikatakan para kaum urban akan memperoleh status sosial yang tinggi serta memperoleh arti kemanusiaan di kampung halamannya yang tidak bisa didapat di kota.
B. Saran
Dari simpulan di atas penulis memberikan saran kepada pemudik agar ketika melakukan tradisi mudik dilakukan dengan teratur dan rapi sehingga dapat menjadi sebuah wisata tradisi religius menjelang lebaran. Kemudian kepada pemerintah agar lebih meratakan pembangunan di desa sehingga urbanisasi tidak terus meningkat.
sumber : http://malixsocio.blogspot.com/2009/05/mudik-lebaran-suatu-kajian-sosiologi.html
No comments:
Post a Comment